RIHLAH MENGGAPAI HIDAYAH

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie 

Ibnu Ishâq rahimahullâh, seorang ulama pakar Sejarah menuturkan : 

وَاجْتَمَعَتْ قُرَيْشٌ يَوْمًا فِي عِيدٍ لَهُمْ عِنْدَ صَنَمٍ مِنْ أَصْنَامِهِمْ كَانُوا يُعَظِّمُونَهُ وَيَنْحَرُونَ لَهُ، وَيَعْكُفُونَ عِنْدَهُ، ويُديرون بِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ عِيدًا لَهُمْ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَوْمًا، فخلَص مِنْهُمْ أَرْبَعَةُ نَفَرٍ نَجِيًّا، ثُمَّ قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تَصَادَقُوا، وَلْيَكْتُمْ بعضُكم عَلَى بَعْضٍ، قَالُوا: أَجَلْ

Pada suatu hari orang orang Quraisy berkumpul pada hari raya mereka di sisi salah satu berhala mereka yang mereka agung agungkan.  Mereka menyembelih di sisinya, beri'tikaf padanya, dan bernadzar untuknya. Hari raya itu diperingati sehari dalam satu tahun. Tiba tiba ada empat orang yang menyingkir dari mereka. Mereka saling berbisik di antara mereka. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Kita sepakat untuk jujur dan saling menjaga rahasia.” Mereka berkata, “Ya.”
 
 
 
 
 

وَهُمْ : وَرَقةُ بْنُ نَوْفل وعُبَيْد اللَّهِ بْنِ جَحْشِ وَكَانَتْ أُمُّهُ أُمَيْمَةَ بِنْتَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعُثْمَانِ بْنِ الحوَيْرث وزيد بن عَمرو بْنِ نُفَيْل ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تعلَّموا وَاَللَّهِ مَا قَوْمُكُمْ عَلَى شَيْءٍ! لَقَدْ أَخْطَئُوا دِينَ أَبِيهِمْ إبْرَاهِيمَ، مَا حَجَرٌ نُطِيفُ بِهِ، لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ، وَلَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ؟! يَا قَوْمِ الْتَمِسُوا لِأَنْفُسِكُمْ  فَإِنَّكُمْ وَاَللَّهِ مَا أَنْتُمْ عَلَى شَيْءٍ فَتَفَرّقُوا فِي الْبُلْدَانِ يَلْتَمِسُونَ الْحَنِيفِيّةَ دِينَ إبْرَاهِيمَ

Empat orang tersebut adalah : (1) Waraqah bin Naufal, (2)  'Ubaidullâh bin Jahsy, ibunya adalah Umaimah binti'Abdil Muththalib, (3) 'Utsman bin al-Huwairits, dan (4) Zaid bin 'Amr bin Nufail. 

Sebagian berkata kepada yang lain, "Demi Allah, kalian telah mengetahui bahwa kaum kita bukan berpijak kepada kebenaran. Mereka telah salah terhadap agama moyang mereka, Ibrahim.  Mengapa kita thawaf di sekitar batu yang tidak mendengar, tidak melihat, tidak mendatangkan mudharat, dan tidak mendatangkan manfaat. Wahai kaum, carilah sebuah agama untuk diri kalian karena demi Allah, kalian bukan di atas apa pun." Lalu mereka bubar dan berpencar ke berbagai negeri mencari Hanifiyah agama Ibrahim.

فَأَمَّا وَرَقَةُ بْنُ نَوْفَلٍ فَاسْتَحْكَمَ فِي النَّصْرَانِيَّةِ، وَاتَّبَعَ الكتبَ مِنْ أَهْلِهَا، حَتَّى عَلِمَ عِلْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ.

Adapun Waraqah bin Naufal menelusuri agama Nasrani. Dia mencari kitab-kitab dari pemeluknya sehingga dia mengetahui ilmu dari Ahli Kitab. 

وَأَمَّا عُبَيد اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ، فَأَقَامَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ الِالْتِبَاسِ حَتَّى أَسْلَمَ، ثُمَّ هَاجَرَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ إلَى الْحَبَشَةِ، وَمَعَهُ امْرَأَتُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ مُسْلِمَةً، فَلَمَّا قَدِمَهَا تنصَّر، وَفَارَقَ الإِسلام، حَتَّى هَلَكَ هُنَالِكَ نصرانيًّا.

Sementara 'Ubaidullâh bin Jahsy terus mencari sampai Islam tiba dan dia masuk Islam lalu dia berhijrah ke Habasyah bersama kaum muslimin diikuti isterinya, ummu Habibah binti Abi Sufyan yang juga masuk Islam. Sayangnya, ketika dia tiba di Habasyah, dia memeluk agama Nasrani , mati di sana sebagai Nasrani.

وَأَمَّا عُثْمَانُ بْنُ الحُوَيْرث، فَقَدِمَ عَلَى قَيْصَرَ مَلِكِ الرُّومِ فتنصَّر، وَحَسُنَتْ منزلتُه عندَه 

Adapun 'Utsmân bin al-Huwairits maka dia datang kepada Kaisar Raja Romawi. Dia masuk Nasrani dan mempunyai kedudukan di sisi sang raja'

وَأَمَّا زَيْدُ بْنُ عَمرو بن نُفَيْل فوقف فلم يدخل يَهُودِيَّةٍ وَلَا نَصْرَانِيَّةٍ، وَفَارَقَ دِينَ قَوْمِهِ، فَاعْتَزَلَ الْأَوْثَانَ وَالْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَالذَّبَائِحَ الَّتِي تُذْبَح عَلَى الأوثان وَنَهَى عَنْ قَتْل الْمَوْءُودَة وَقَالَ: أعبدُ ربَّ إبْرَاهِيمَ، وبادَى قَوْمَهُ بعيْب مَا هُمْ عَلَيْهِ.

Sementara Zaid bin 'Amr bin Nufail maka dia menahan diri. Dia tidak ikut Yahudi dan tidak ikut Nasrani, namun dia juga tidak mengikuti agama kaumnya. Dia menjauhi berhala, bangkai, darah, dan sembelihan yang disembelih di depan berhala. Dia melarang mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dia berkata, "Aku menyembah Rabb lbrahim." Dia tidak segan mengkritik agama yang dianut oleh kaumnya.

عَنْ  أَسَمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : لَقَدْ رأيتُ زيدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْل شَيْخًا كَبِيرًا مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إلَى الْكَعْبَةِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا معشرَ قُرَيْشٍ، وَاَلَّذِي نَفْسُ زَيْدِ بْنِ عَمْرٍو بِيَدِهِ: مَا أَصْبَحَ مِنْكُمْ أَحَدٌ عَلَى دِينِ إبْرَاهِيمَ غَيْرِي، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أيَّ الْوُجُوهِ أَحَبُّ إلَيْكَ عبدتُك بِهِ، وَلَكِنِّي لَا أَعْلَمُهُ، ثُمَّ يَسْجُدُ عَلَى رَاحَتِهِ.

Diriwayatkan dari Asma' binti Abi Bakar radhiyallahu anhuma ia berkata, "Aku pernah melihat zaid bin 'Amr bin Nufail, seorang laki laki tua yang telah berumur, dia menyandarkan punggungnya ke Ka'bah. Dia berkata, Wahai orang-orang Quraisy! Demi Dzat yang jiwa Zaid bin 'Amr berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalian yang memegang agama Ibrahim selain aku. Ya Allah, seandainya aku mengetahui wajah apakah yang paling Engkau cintai niscaya aku menyembah Mu dengannya, akan tetapi aku tidak mengetahui. Kemudian dia bersujud sekenanya."

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَحُدّثْت أَنّ ابْنَهُ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْل ٍ ، وَعُمَرَ بْنَ الْخَطّابِ ، وَهُوَ ابْنُ عَمّهِ قَالَا لِرَسُولِ اللّهِ ﷺ أَتَسْتَغْفِرُ لِزَيْدِ بْنِ عَمْرٍو ؟ قَالَ نَعَمْ فَإِنّهُ يُبْعَث أُمّةً وَحْدَهُ .

Ibnu Ishaq rahimahullâh berkata, "Aku diberitahu bahwasanya Putra Sa'id bin zaid bin 'Amr bin Nufail dan 'Umar bin al Khaththâb, sepupunya, keduanya berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Apakah kami boleh beristighfar (memohonkan ampunan kepada Allah) untuk Zaid bin 'Amr ? Nabi ﷺ menjawab : "Ya, karena dia akan dibangkitkan sebagai umat sendirian. (HR Ahmad : 1647)

وَقَالَ زَيْدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ فِي فِرَاقِ دِينِ قَوْمِهِ وَمَا كَانَ لَقِيَ مِنْهُمْ فِي ذَلِكَ

Zaid bin 'Amr bin Nufail mengatakan tentang perpisahan dirinya terhadap agam kaumnya dan apa yang dia dapatkan demi itu :

أَرَبًّا وَاحِدًا أَمْ أَلْفَ رَبٍّ * أَدِينُ إِذَا تَقَسَّمَتِ الْأُمُورُ عَزَلْتُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى جَمِيعًا * كَذَلِكَ يَفْعَلُ الْجَلْدُ الصَّبُورُ فَلَا الْعُزَّى أَدِينُ وَلَا ابْنَتَيْهَا * وَلَا صَنَمَيْ بَنِي عَمْرٍو أَزور وَلَا غُنْمًا أَدِينُ وَكَانَ رَبًّا * لَنَا فِي الدَّهْرِ إِذْ حِلْمِي يَسِيرُ عَجِبْتُ وَفِي اللَّيَالِي مُعْجِبَاتٌ * وَفِي الْأَيَّامِ يَعْرِفُهَا الْبَصِيرُ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْنَى رِجَالًا * كَثِيرًا كَانَ شَأْنَهُمُ الْفُجُورُ وَأَبْقَى آخَرِينَ بِبِرِّ قَوْمٍ * فَيَرْبِلُ مِنْهُمُ الطِّفْلُ الصَّغِيرُ وَبَيْنَا الْمَرْءُ يَعْثُرُ ثَابَ يَوْمًا * كَمَا يتروح الْغُصْن النَّضِير وَلَكِنْ أَعْبُدُ الرَّحْمَنَ رَبِّي * لِيَغْفِرَ ذَنْبِيَ الرَّبُّ الْغَفُورُ فَتَقْوَى اللَّهِ رَبِّكُمُ احْفَظُوهَا * مَتَى مَا تَحْفَظُوهَا لَا تَبُورُوا تَرَى الْأَبْرَارَ دَارُهُمُ جِنَانٌ * وَلِلْكُفَّارِ حَامِيَةٌ سَعِيرُ وَخِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ وَإِنْ يَمُوتُوا * يُلَاقُوا مَا تَضِيقُ بِهِ الصُّدُورُ 

Apakah satu Tuhan ataukah seribu Tuhan
Aku menyembah jika perkara terbagi?
Aku meninggalkan Lata dan Uzza semuanya
Begitulah yang dilakukan oleh orang kuat lagi sabar
Aku tidak menyembah Uzza, tidak pula kedua anaknya
Aku juga tidak mengunjungi dua berhala Bani'Amr
Aku tidak menyembah Hubal, ia pernah menjadi
Tuhan kita beberapa waktu, karena akalku berjalan
Aku heran, siang dan malam hari memang memiliki
Keajaiban yang diketahui oleh orang yang melihat
Bahwa Allah telah membinasakan orang-orang
Dalam jumlah besar, mereka adalah pelaku dosa-dosa
Dia menyisakan yang lain karena kebaikan suatu kaum
Lalu dari mereka seorang anak kecil tumbuh dewasa
Manakala seseorang berhenti sesaat, suatu hari dia bangkit
Sebagaimana dahan yang kering bersemi oleh hujan
Akan tetapi aku menyembah ar Rahman Rabb ku
Agar Rabb Yang Maha Pengampun mengampuni dosaku
Jagalah ketakwaan kepada Allah Rabb kalian
Selama kalian menjaganya kalian tidak akan merugi
Kamu melihat rumah orang-orang baik adalah Surga
Sedangkan Neraka yang panas untuk orang-orang kafir
Kehinaan dalam kehidupan, jika mereka mati
Maka mereka mendapatkan apa yang menyempitkan dada.

وَكَانَ زَيْدُ بْنُ عَمْرٍو قَدْ أَجْمَعَ الْخُرُوجَ مِنْ مَكَّةَ، لِيَضْرِبَ فِي الْأَرْضِ يَطْلُبُ الْحَنِيفِيَّةَ دِينَ إبْرَاهِيمَ ﷺ فَكَانَتْ صفيةُ بِنْتُ الْحَضْرَمِيِّ كَلَّمَا رَأَتْهُ قَدْ تَهَيَّأَ لِلْخُرُوجِ، وَأَرَادَهُ، آذَنَتْ بِهِ الْخَطَّابَ بْنَ نُفَيل، وَكَانَ الْخَطَّابُ بْنُ نُفَيل عَمَّهُ وَأَخَاهُ لِأُمِّهِ، وَكَانَ يُعَاتِبُهُ عَلَى فِرَاقِ دِينِ قَوْمِهِ

Zaid bin'Amr bertekad meninggalkan Makkah untuk melanglang buana mencari Hanifiyah agama Ibrahim ﷺ Tetapi, setiap kali Shafiyyah binti al-Hadhrami melihatnya bersiap-siap untuk pergi, dia mengadukannya kepada al-Khaththab bin Nufail. Al-Khaththâb mencelanya karena dia telah meninggalkan agama kaumnya. 

وَكَانَ الْخَطَّابُ قَدْ آذَى زَيْدًا، حَتَّى أَخْرَجَهُ إلَى أَعَلَى مَكَّةَ، فَنَزَلَ حِرَاءَ مُقَابِلَ مَكَّةَ، وَوَكَّلَ بِهِ الْخَطَّابُ شَبَابًا مِنْ شَبَابِ قُرَيْشٍ وَسُفَهَاءَ مِنْ سُفَهَائِهَا، فَقَالَ لَهُمْ : لَا تَتْرُكُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ، فَكَانَ لَا يَدْخُلُهَا إلَّا سِرًّا مِنْهُمْ، فَإِذَا عَلِمُوا بِذَلِكَ آذَنُوا بِهِ الْخَطَّابَ فَأَخْرَجُوهُ وَآذَوْهُ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُفْسِدَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ، وَأَنْ يُتَابِعَهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى فِرَاقِهِ.

Al-Khaththab juga menyiksa Zaid. Dia membawanya ke perbukitan Makkah sampai di Hira' yang menghadap Makkah, lalu al-Kahththab menugaskan para pemuda Quraisy dan orang orang bodohnya untuk menjaganya. Dia berkata kepada mereka, "Jangan biarkan dia masuk ke Makkah." Maka Zaid tidak masuk Makkah kecuali dengan sembunyi sembunyi. Jika mengetahui hal itu, mereka memberitahu al Khaththab sehingga dia mengeluarkannya dan menyiksanya. Al Khaththab tidak ingin Zaid merusak agama orang orang Makkah dan tidak ingin ada orang Makkah yang mengikuti Zaid.

ثُمَّ خَرَجَ يَطْلُبُ دِينَ إبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَيَسْأَلُ الرُّهْبَانَ وَالْأَحْبَارَ، حَتَّى بَلَغَ الْمَوْصِلَ وَالْجَزِيرَةَ كُلَّهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ فَجَالَ الشَّامَ كُلَّهُ، حَتَّى انْتَهَى إلَى رَاهِبٍ بِمَيْفَعَةٍ مِنْ أَرْضِ الْبَلْقَاءِ  كَانَ يَنْتَهِي إلَيْهِ عِلْمُ أَهْلِ النَّصْرَانِيَّةِ فِيمَا يَزْعُمُونَ 

Kemudian Zaid keluar mencari agama Ibrahim alaihis salam . Dia bertanya kepada para rahib ahli ibadah dan para ulama Ahli Kitab, sampai Zaid tiba di al-Mushil dan seluruh Jazirah. Dia terus melangkah sampai ke Syam.  Dia menemui seorang rahib di Mifa'ah (dataran tinggi) di bumi Balqa'. Menurut mereka ilmu orang-orang Nasrani bersumber kepadanya,

فَسَأَلَهُ عَنْ الْحَنِيفِيَّةِ دِينِ إبْرَاهِيمَ، فَقَالَ : إنَّكَ لَتَطْلُبُ دِينًا مَا أَنْتَ بِوَاجِدٍ مَنْ يَحْمِلُكَ عَلَيْهِ الْيَوْمَ، وَلَكِنْ قَدْ أَظَلَّ زَمَانُ نَبِيٍّ يَخْرُجُ مِنْ بِلَادِكَ الَّتِي خَرَجْتَ مِنْهَا، يُبْعَثُ بِدِينِ إبْرَاهِيمَ الْحَنِيفِيَّةِ، فَالْحَقُّ بِهَا، فَإِنَّهُ مَبْعُوثٌ الْآنَ، هَذَا زَمَانُهُ. وَقَدْ كَانَ شَامَّ الْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ، فَلَمْ يَرْضَ شَيْئًا مِنْهُمَا، فَخَرَجَ سَرِيعًا، حِينَ قَالَ لَهُ ذَلِكَ الرَّاهِبُ مَا قَالَ، يُرِيدُ مَكَّةَ، حَتَّى إذَا تَوَسَّطَ بِلَادَ لَخْمٍ عَدَوْا عَلَيْهِ فَقَتَلُوهُ.

Maka Zaid bertanya kepadanya tentang Hanifiyah agama Ibrahim, Rahib itu berkata, "Sesungguhnya engkau mencari agama. Engkau tidak akan menemukan orang yang menunjukkanmu kepadanya pada hari ini, tetapi sudah tiba saatnya kehadiran suatu masa di mana seorang Nabi akan muncul di negerimu yang telah engkau tinggalkan. Nabi tersebut diutus membawa. Hanifiyah agama Ibrahim. Pulanglah, karena sekarang dia diutus. Ini adalah zamannya." Zaid telah mempelajari Yahudi dan Nasrani, namun dia tidak menerima apa pun dari keduanya. Maka Zaid pulang dengan segera begitu dia mendengar apa yang diucapkan oleh rahib itu. Dia ingin pulang ke Makkah, tetapi di tengah negeri kabilah Lakham, orang orang menyerangnya dan membunuhnya. (Siroh Ibnu Hisyâm 1/191-199)

وَفِيْ آخِرِ رَمَقٍ مِنْ حَيَاتِهِ رَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ حَرَمْتَنِيْ مِنْ هَذَا الْخَيْرِ فَلاَ تَحْرِمْ مِنْهُ ابْنِي سَعِيْدًا . وَاسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَهُ الْمُبَارَكَةَ فَكَانَ ابْنُهُ سَعِيْدٌ مِنَ السَّابِقِيْنَ إِلَى الدُّخُوْلِ فِيْ الْإِسْلَامِ فَقَدْ أَسْلَمَ قَبْلَ دُخُوْلِ النَّبِيِّ دَارَ الْأَرْقَمِ

Di akhir kesempatan dalam hidupnya, Zaid memandang ke langit. Dia berkata, "Ya Allah, jika aku tidak berhasil mendapatkan kebaikan ini, biarkanlah anakku Sa'id yang mendapatkannya." Allah mengabulkan do'anya yang Penuh berkah. Anaknya, Sa'id radhiyallahu 'anhu termasuk orang-orang angkatan Pertama yang masuk Islam. Sa'id bin Zaid masuk Islam sebelum Nabi shalallahu alaihi wasallam masuk rumah al Arqam di Darul Arqam. (Ashâbur Rasûl 1/265-267)

Catatan : 

Tentang kisah murtadnya sahabat Ubaidullah bin jahsy ini diperselisihkan oleh para ulama tentang kebenarannya. 

Memang ada beberapa Riwayat dalam masalah ini namun semuanya lemah diantaranya :

[1] Dari Ummu Habibah radhiyallahu anha ia berkata :

رَأَيْتُ فِيَ النَّوْمِ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ جَحْشٍ زَوْجِي بَأَسْوَأِ صُورَةٍ وَأَشْوَهِهِ فَفَزِعْتُ. فَقُلْتُ: تَغَيَّرَتْ وَاللَّهِ حَالُهُ. فإذا هو يقول حَيْثُ أَصْبَحَ: يَا أُمَّ حَبِيبَةَ إِنِّي نَظَرْتُ فِي الدِّينِ فَلَمْ أَرَ دِينًا خَيْرًا مِنَ النَّصْرَانِيَّةِ وَكُنْتُ قَدْ دِنْتُ بِهَا. ثُمَّ دَخَلْتُ فِي دِينِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ قَدْ رَجَعْتُ إِلَى النَّصْرَانِيَّةِ. فَقُلْتُ: وَاللَّهِ مَا خَيْرٌ لَكَ. وَأَخْبَرْتُهُ بِالرُّؤْيَا الَّتِي رَأَيْتُ لَهُ فَلَمْ يَحْفَلْ بِهَا وَأَكَبَّ عَلَى الْخَمْرِ حَتَّى مَاتَ

 “Dalam mimpi aku melihat Ubaidullah bin Jahsy, suamiku dalam rupa yang sangat buruk dan menjijikkan. Aku terperanjat. Spontan aku mengatakan, ‘Demi Allah, keadaannya akan berubah.’ Dan ternyata keesokan harinnya ia berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku telah meneliti semua agama dan aku tidak melihat yang lebih baik daripada Agama Nasrani. Dulu aku pernah memeluk keyakinan ini. Kemudian aku masuk agama Muhammad, dan kini aku bersama ke agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, itu tidak lebih baik bagimu.’ Aku lalu mengisahkan mimpi yang aku lihat, tetapi ia tidak memperdulikannya. Akhirnya ia kecanduan minum khamr sampai meninggal dunia.” (HR Ibnu Sa’ad, Thabaqat 7 / 97)

[2] Dari ‘Urwah ia berkata :

وَمِنْ بَنِي أَسَدِ بْنِ خُزَيْمَةَ: عُبَيْدُ اللهِ بْنُ جَحْشٍ، مَاتَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ نَصْرَانِيًّا وَمَعَهُ امْرَأَتُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ، بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، وَاسْمُهَا رَمْلَةُ: فَخَلَفَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلم، أَنْكَحَهُ إِيَّاهَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ، وأُمَّ حَبِيبَةَ أُمُّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ، أُخْتُ عَفَّانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، عَمَّةُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ

 “Dari Bani Asad bin Khuzaimah adalah Ubaidullah bin Jahsy. Ia mati di negeri Habasyah sebagai seorang penganut agama Nasrani. Ia bersama istrinya Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Namanya Ramlah. Rasulullah ﷺ menyuntingnya. Utsman bin Affan yang menikahkan beliau dengan Ummu Habibah di Habasyah, ibu umu habibah adalah shafiyyah bintu abil ‘Ash, saudarinya ‘Affan bin Abil ‘Ash, bibinya ‘Utsman bin ‘Affan.” (Dalailun Nubuwwah, 3/ 460) 

       Yang menguatkan lemahnya Riwayat tersebut diatas adalah bahwa didalam Riwayat Riwayat yang shahih tidak menyinggung sedikitpun peristiwa murtadnya sahabat ‘Ubaidullah bin jahsy walaupun memang benar bahwa beliau meninggalnya di Habasyah saat peristiwa hijrah bersama istrinya Umu Habibah radhiyallahu anha.

      Dari Urwah dari Umu Habibah radhiyallahu ‘anha :

أَنَّهَا  كَانَتْ تَحْتَ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ جَحْشٍ، وَكَانَ أَتَى النَّجَاشِيَّ  فَمَاتَ، وَإِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ تَزَوَّجَ أُمَّ حَبِيبَةَ وَإِنَّهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ، زَوَّجَهَا إِيَّاهُ النَّجَاشِيُّ وَمَهَرَهَا أَرْبَعَةَ آلَافٍ 

Bahwa ia dulu istri Ubaidullah bin Jahsy yang datang ke negeri Najasyi dan mati di sana. Lantas Rasulullah ﷺ menikahi Ummu Habibah saat ia masih di Habasyah. Najasyi yang menikahkannya dengan beliau dan memberinya mahar 4.000 dirham.” (HR Ahmad : 47208, Abu Dawud  : 2093, dishahihkan oleh Syaikh Al- Albani dalam Shahih An-Nasai, 2/705) 

        Dari Urwah, dari Aisyah ia menuturkan :

ثُمَّ هَاجَرَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ بِأُمِّ حَبِيْبَةٍ بِنْتِ أَبِيْ سُفْيَانَ وَهِيَ امْرَأَتُهُ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَلَمَّا قَدِمَ الْحَبَشَةَ مَرِضَ فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ أَوْصَى إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ فَتَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللَّهِ أُمُّ حَبِيْبَةٍ وَبَعَثَ مَعَهَا النَّجَاشِيُّ شَرَحْبِيْلُ بْنُ حَسَنَةً.

“Kemudian Ubaidullah bin Jahsy hijrah bersama Ummu Habibah binti Abu Sufyan ke negeri Habasyah. Ketika telah tiba di Habasyah ia jatuh sakit. Ketika kematian terasa telah dekat, ia berpesan kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ lalu menikahi Ummu Habibah. Dan Najasyi mengirim Syurahbil bin Hasnah untuk mengawal perjalanan Ummu Habibah (Dari Habasyah menuju Madinah).” (HR Ibnu Hibban 13/ 386)

           Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan hafidzahullah berkata :

مِمَّا سَبَقَ يَتَبَيَّنُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ قِصَّةَ رِدَّةِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ لَمْ تَثْبُتْ لِعِدَّةِ أَدِلَّةٍ مِنْهَا 

Dari uraian tadi, wallahu a’lam dapat disimpulkan bahwa kisah murtadnya Ubaidullah bin Jahsy tidak benar berdasarkan beberapa alasan berikut:

1-أَنَّهَا لَمْ تُرْوَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ مُتَّصِلٍ فَالْمَوْصُوْلُ مِنْ طَرِيْقِ الْوَاقِدِيَّ وَالْمُرْسَلُ جَاءَ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَلَا يُمْكِنُ أَنْ تَحْتَجَّ بِالْمُرْسَلِ (عِنْدَ مَنْ يَرَى الْاحْتِجَاجَ بِهِ) فِيْ مَسْأَلَةٍ كَهَذِهِ، فِيْهَا الْحُكْمُ عَلَى أَحَدِ السَّابِقِيْنَ الْأَوَّلِيْنَ بِالرِدَّةِ.

[1] Kisah ini tidak diriwayatkan dengan sanad shahih dan bersambung. Sebab, riwayat yang bersambung berasal dari Waqidi (padahal ia perawi matruk), dan riwayat yang mursal bersumber dari Urwah bin Zubair. Kita tidak mungkin berhujjah dengan riwayat mursal (menurut pendapat bolehnya berhujjah dengan riwayat mursal) dalam permasalahan seperti ini, yang berimplikasi menghukumi murtad pada salah seorang muslim generasi pertama.

2-أَنَّ الرِّوَايَاتِ الصَّحِيْحَةَ فِيْ زَوَاجِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأُمِّ حَبِيْبَةٍ لَمْ تُذْكَرْ رِدَّةُ زَوْجِهَا السَّابِقِ كَمَا فِيْ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ عِنْدَ أَحْمَدَ وَأَبِيْ دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ.

[2]-Riwayat-riwayat yang shahih tentang pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummu Habibah tidak menyebutkan kemurtadan suami pertamanya ini, seperti riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Nasai yang telah disebutkan di atas.

3-أَنَّهُ يَبْعُدُ أَنْ يَرْتَدَّ أَحَدُ السَّابِقِيْنَ الْأَوَّلِيْنَ لِلْإِسْلَامِ عَنْ دِيْنِهِ وَهُوَ مِمَّنْ هَاجَرَ فِرَارًا بِدِيْنِهِ مَعَ زَوْجِهِ إِلَى أَرْضٍ بَعِيْدَةٍ غَرِيْبَةٍ. خَاصَةً أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ مِمَّنْ هَجَرَ مَا عَلَيْهِ قُرَيْشٌ مِنْ عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ وَالْتِمَاسُهُ مَعَ وَرَقَةٍ وَغَيْرِهِ الْحَنِيْفِيَّةَ كَمَا فِيْ رِوَايَةِ ابْنِ إِسْحَاقٍ (بِدُوْنِ سَنَدٍ) الْوَارِدَةِ أَوَّلَ هَذَا الْبَحْثِ 

[3]-Orang yang termasuk generasi pertama Islam kecil kemungkinan murtad dari agamanya. Apalagi, ia termasuk orang yang hijrah bersama istrinya demi menyelamatkan agama ke negeri yang jauh dan asing. Terutama Ubaidullah bin Jahsy termasuk orang-orang yang menjauhi keyakinan paganisme Quraisy, dan bersama Waraqah serta lainnya ia mencari agama yang Hanif sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat ibnu Ishaq (tanpa sanad) di awal pembahasan ini.

 وَفِيْ رِوَايَةِ ابْنِ سَعْدٍ (عَنِ الْوَاقِدِي) أَنَّهُ كَانَ قَدْ دَانَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الْبِشَارَةَ بِبَعْثَةِ الرَّسُوْلِ ﷺ كَانَتْ مَعْرُوْفَةً عِنْدَ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ يَهُوْدٍ وَنَصَارَى، فَكَيْفَ يَتَصَوَّرُ مِنْ رَجُلٍ يَتَرَقَّبُ الدِّيْنَ الْجَدِيْدَ أَنْ يَعْتَنِقَهُ ثُمَّ يَرْتَدُّ عَنْهُ لِدِيْنٍ مَنْسُوْخٍ؟ 
 
Dan dalam riwayat Ibnu Sa’ad (dari Waqidi) menyatakan bahwa sebelum masuk islam ia telah memeluk agama Kristen. Sudah dimaklumi berita akan diutusnya Rasulullah ﷺ sudah popular di kalangan Ahlu Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani. Sulit dibayangkan, bagaimana orang yang menunggu-nunggu agama baru untuk ia anut kemudian (setelah memeluknya) ia murtad dan memeluk agama yang telah di hapus.

كَمَا أَنَّ زَوَاجَ النَّبِيِّ ﷺ بِأُمِّ حَبِيْبَةٍ كَانَ فِيْ سَنَةِ سِتٍّ وَقِيْلَ سَبْعٍ وَرِدَةُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَزْعُوْمَةُ قَبْلَ ذَلِكَ بِفَتْرَةٍ وَهِيَ مَرْحَلَةٌ كَانَ الْإِسْلَامُ قَدْ عَلَا فِيْهَا وَظَهَرَ حَتَّى خَارِجُ الْجَزِيْرَةِ الْعَرَبِيَّةِ بَلْ أَصْبَحُ هُنَاكَ مَنْ يَظْهَرُ الْإِسَلَامَ وَيُبْطِنُ الْكُفْرَ كَحَالِ الْمُنَافِقِيْنَ.

Selain itu, pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah terjadi pada tahun 6 atau 7 Hijriah. Sementara anggapaan murtadnya Ubaidullah terjadi tidak lama sebelum pernikahan ini. Padahal pada masa ini, agama islam telah meraih ketenaran dan diakui hingga di luar Jazirah Arab. Bahkan telah ada orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran seperti orang orang munafik.

4-فِيْ حِوَارِ هِرَقْلَ مَعَ أَبِيْ سُفْيَانَ وَكَانَ إِذْ ذَاكَ مُشْرِكًا  أَنْ سَأَلَهُ ضِمْنَ سُؤَالَاتِهِ : هَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ سُخْطَةً لِدِيْنِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيْهِ ؟ فَأَجَابَ أَبُوْ سُفْيَانَ : لَا 

[4]-Dalam Tanya jawab antara Heraklius (Raja Romawi) dan Abu Sufyan yang kala itu masih musyrik, di antara pertanyaan yang diajukan Heraqlius kepadanya adalah, “Apakah di antara para pengikutnya ada yang murtad karena benci terhadap agamanya setelah ia memeluknya?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”

وَلَوْ كَانَ عُبَيْدُ اللَّهَ قَدْ تَنَصَرَ لَوَجَدَهَا أَبُوْ سُفْيَانَ فُرْصَةً لِلنَّيْلِ مِنَ النبي ﷺ وَدَعْوَتِهِ. كَمَا فَعَلَ لِمَا سُئِلَ فَهَلْ يَغْدِرُ؟ قُلْتُ : لَا وَنَحْنُ مِنْهُ فِيْ مُدَّةٍ لَا نَدْرِيْ مَا هُوَ فَاعِلٌ فِيْهَا. قَالَ : وَلَمْ تَمَكَّنِيْ كَلِمَةٌ أُدْخِلَ فِيْهَا شَيْئًا غَيْرَ هَذَا الْكَلِمَةِ 

Andai Ubaidullah telah beralih memeluk agama Nasrani, tentunya Abu Sufyan mendapat kesempatan untuk mendiskreditkan Nabi dan dakwah beliau sebagaimana ia lakukan ketika ditanya, “Apakah ia berkhianat ?” Aku (Abu Sufyan) menjawab, “Tidak. Dan sekarang ini kami sedang berada dalam masa genjatan senjata. Kami tidak tahu apa yang tengah ia rencanakan.” Abu Sufyan berkata, “Tak ada satu perkataan yang dapat aku sisipkan (untuk menjelek-jelekkan Nabi ﷺ) selain ucapan ini.” (HR Bukhari)

وَلَا يُمْكِنُ الْقَوْلُ بِأَنَّ أَبَا سُفْيَانَ لَمْ يَعْلَمْ بِرِدَّةِ عُبَيْدِ اللَّهِ  لَوْ صَحَّتْ رِدَّتُهُ  لِأَنَّهُ وَالِدُ زَوْجِهِ أُمِّ حَبِيْبَةٍ. وبعد فَالْمَسْأَلَةُ مُتَعَلِّقَةٌ بِأَحَدِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ بَلْ وَمِنَ السَّابِقِيْنَ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 

Tidak mungkin menyatakan bahwasanya Abu Sufyan tidak mengetahui murtadnya Ubaidullah jika benar berita murtadnya, karena ia adalah mertuanya Jadi, permasalahan berita kemurtadan ini berkaitan dengan salah seorang sahabat Nabi ﷺ, bahkan ia termasuk golongan pertama yang memeluk islam. Prinsip dasarnya, sesuatu tetap pada kondisi awal (selagi tidak ada bukti kuat yang mengubahnya). 

فَإِنْ صَحَّ السَّنَدُ بِخَبَرِ رِدَّتِهِ فَلَا كَلَامَ وَإِذَا جَاءَ نَهْرُ اللَّهِ بَطَلَ نَهْرُ مَعْقَل أَمَّا وَالسَّنَدُ لَمْ يَثْبُتْ فَإِنَّ نُصُوْصَ الشَّرِيْعَةِ حَافِلَةٌ بِالذَّبِّ عَنْ عِرْضِ الْمُسْلِمِ فَكَيْفَ إِذَا كَانَ هَذَا الْمُسْلِمُ صَحَابِيًا بَلْ وَمِنَ السَّابِقِيْنَ ؟

Jika sanad tentang berita kemurtadan Ubaidullah bin Jahsy itu shahih, tidak perlu lagi berpanjang lebar membahasnya. Tetapi ketika sanad tersebut tidak terbukti shahih, maka banyak nash-nash syariat yang memerintahkan untuk membela kehormatan seorang muslim. Terlebih lagi bila orang tersebut adalah seorang sahabat, bahkan termasuk kelompok muslim pertama. 

(Mâ Syâ-a wa Lam Yatsbut Fi As-Sirah An-Nabawiyyah,  Muhammad bin Abdullah al-Ausyan, hlm. 37-43)

0 Response to "RIHLAH MENGGAPAI HIDAYAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel