CARA MENGHILANGKAN MANI DARI PAKAIAN


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ «كُنْت أَغْسِلُ الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ، وَإِنَّ بُقَعَ الْمَاءِ فِي ثَوْبِهِ، وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا، فَيُصَلِّي فِيهِ.»

Dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- ia berkata, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu Beliau keluar untuk shalat, namun basahnya masih tampak di pakaiannya.” Dalam lafaz Muslim disebutkan, “Aku pernah menggosok mani itu dengan keras dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau shalat menggunakannya.”

PENJELASAN HADITS :

[1] ROWI HADITS :

‘Aisyah Ummul Mu’minin binti Abu Bakar, Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir Al Qurasyi At Taimiy semoga Allah meridhainya dan meridhai ayahnya. Beliau dilahirkan di masa islam. 

Lahir di Makkah pada tahun 9 sebelum hijrah bertepatan dengan 613 M. Kunyahnya adalah Ummu Abdillah dinisbatkan kepada keponakannya yaitu Abdullah bin Zubair anak saudarinya Asma Binti Abu Bakar radhiyallahu anhum. 

Dinikahi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di Makkah setelah kematian Khadijah radhiyallahu anha dan sebelum pernikahannya dengan Saudah.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menikahinya pada tahun kedua hijrah dan ia adalah istri yang paling beliau cintai.  

Pada saat itu ‘Aisyah berusia enam tahun. Namun Nabi shalallahu alaihi wasallam berkumpul dengannya ketika di Madinah saat berusia Sembilan tahun. Ketika Nabi shalallahu alihi wasallam wafat, Aisyah berusia delepan belas tahun. 

'Aisyah -radhiyallahu 'anha- berkata : 

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata didalamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata; "Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik". Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan keceriaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada beliau dimana saat itu usiaku sembilan tahun". (HR Bukhari : 3894, Muslim : 1422)

'Aisyah -radhiyallahu 'anha- memiliki keutamaan besar , kecerdasan, pemahaman dan ilmu. Beliau adalah wanita paling faqih, paling mengetahui agama dan adab di kalangan kaum muslimin, bahkan para sahabat-sahabat besar bertanya tentang faraidh (ilmu tentang warisan) kepadanya. 

Diantara keutamaan beliau adalah Jibril Alaihis Salam pernah mengirimkan salam kepadanya. 

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan :
 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا: «يَا عَائِشَ، هَذَا جِبْرِيلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ» فَقُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، تَرَى مَا لاَ أَرَى «تُرِيدُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Pada suatau hari Rsulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda, ‘Wahai Aisy, ini adalah Jibril menyampaikan salam untukmu.” Aisyah radhiyallahu anha menjawab wa’alaihi salam wabarokatuh engkau melihat apa yang tidak aku lihat.yang dimaksud adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam” (HR. Bukhari : 3768) 

‘Aisyah radhiyallahu anha adalah seorang yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, Beliau menempati peringkat keempat sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, dengan meriwayatkan sebanyak [2.210] hadits. 

Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda tentang keutamaan dirinya :
 
كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ غَيْرُ مَرْيَمَ بِنْتِ عِمْرَانَ، وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

Kalangan laki laki yang sempurna sangat banyak, dan tidak ada yang sempurna dari kalngan wanita kecuali Maryam binti ‘Imran, dan Asiyah isterinya fir’aun dan sesungguhnya keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti kutamaan Tsarid atas seluruh makanan lainnya” (HR Bukhari dan Muslim).

‘Atha bin Abi Rabah -rahiamhullah- seorang ulama Tabi’in berkata :
 

كَانَتْ أَحْسَنَ النَاسِ رَأْيًا فِيْ العَامَةِ

Beliau merupakan manusia yang paling bagus pendapat pendapatnya untuk urusan urusan umum” (Al Ishabah 8/233)

Abu Musa -radhiyallahu 'anhu- berkata :
 

مَا أَشْكَلَ عَلَيْنَا أَمْرٌ فَسَأَلْنَا عَنْهُ عَائِشَةَ إِلَّا وَجَدْنَا عِنْدَهَا فِيْهِ عِلْمًا.

Tidak ada satupun perkara yang musykil bagi kami melainkan kami mendapatkan ilmu tentangnya pada dirinya”. (Al Ishabah 8/233)

Az Zuhri -rahimahullah- berkata :
 

لَوْ جُمِعَ عِلْمُ عَائِشَةَ إِلَى عِلْمِ جَمِيْعِ أُمَهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَعِلْمِ جَمِيْعِ النِّسَاءِ لَكَانَ عِلْمُ عَائِشَةَ أَفْضَلَ

Kalau seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulakn dengan ilmunya umahatul mu’minin dan ilmu seluruh para wanita maka ilmu ‘Aisyah lebih utama dari semuanya” (Al Ishabah 8/233)

Tidaklah beliau wafat hingga menyebarkan kepada umat ini ilmu yang banyak. Beliau wafat di Madinah pada bulan Ramadhan tahun 58 H bertepatan dengan 678 M. semoga Allah meridhainya. (Tanbih Al Afham, hal. 28 dengan sedikit penambahan)

[2] PEMBAHASAN HADITS :

Cara menghilangkan mani pada pakaian

[3] PENJELASAN HADITS SECARA GLOBAL :
 

تُحَدِّثُ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ كَيْفِيَةِ إِزَالَتِهَا المَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنها تغسله أحيانا، وتفركه أحيانا، فإذا كان رطبا غسلته فيخرج النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى الصلاة وبُقَعُ الماءِ فِيْ ثَوْبِهِ تُرَى قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ، وَإِذَا كَانَ يَابِسًا فَرَكَتْهُ حَتَّى يَتَفَتَّتْ وَيَزُوْلَ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيْهِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بدونِ غسلٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan cara menghilangkan mani dari kain Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, bahwa beliau sesekali mencucinya, dan pada kali yang lain mengeriknya. Apabila mani itu masih basah maka beliau mencucinya, lalu Nabi shalallahu alaihi wasallam keluar menuju shalat, dan bekas air cucian tampak pada kainnya karena belum kering. Tetapi bila air mani sudah mengering, beliaupun mengeriknya hingga hilang, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menggunakannya untuk shalat tanpa mencucinya lagi” (Tanbih Al Afham, hal. 102)

[4] PELAJARAN HADITS :

  1. Sucinya air mani, karena kalau seandainya Najis maka tidak cukup hanya sekedar di kerik. 
  2. Perbedaan dalam menghilangkan mani pada pakian, jika air mani dalam keadaan basah maka dengan cara dicuci, namun bila air mani dalam keadaan kering maka cukup dikerik. Namun tentunya yang lebih utama dengan mencucinya karena dapat menghilangkan juga bekasnya atau akarnya. 
  3. Yang keluar dari tubuh manusia itu ada 3 macam hukum :

    Pertama : Suci, hal ini disepakati oleh para ulama misalnya : keringat, air ludah, ingus, air mata.
    Kedua : Najis, hal ini disepakati oleh para ulama, misalnya : Air kencing, Tinja, Madzi dan Wadi.
    Ketiga : Yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu mani.

  4.  Para Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya Mani, kepada dua pendapat :
Pertama : Mani hukumnya najis, Inilah madzhabnya Maliki dan Hanafi, mereka berdalil dengan hadits Aisyah dimana beliau mencuci mani di baju Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, tidaklah sesuatu di cuci kecuali menunjukan kepada najisnya. Mereka juga berdalil dengan riwayat namun tidak shahih, yaitu Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma ia berkata :
 

أَتَى عَلَيَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا عَلَى بِئْرٍ أَدْلُو مَاءً فِي رَكْوَةٍ لِي , فَقَالَ: «يَا عَمَّارُ مَا تَصْنَعُ؟» , قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي وَأُمِّي , أَغْسِلُ ثَوْبِي مِنْ نُخَامَةٍ أَصَابَتْهُ , فَقَالَ: " يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ: مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ , يَا عَمَّارُ , مَا نُخَامَتُكَ وَدُمُوعُ عَيْنَيْكَ وَالْمَاءُ الَّذِي فِي رَكْوَتِكَ إِلَّا سَوَاءٌ

 “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam datang kepadaku semntara aku sedang menimba seember air di sumur”. Lalu beliau bertanya, “Apa yang sedang engkau lakukan wahai ‘Ammar?”, aku mengatakan, “Aku sedang mencuci bajuku wahai Rasulullah karena terkena dahak”, maka beliaupun bersabda, “Wahai ‘Ammar sesungguhnya baju itu dicuci apabila terkena lima hal , tinja, air kencing, muntah, darah, dan mani, wahai ‘Ammar tidaklah Dahakmu, airmatamu, dan air yang ada dalam embermu kecuali sama saja(tidak najis)” (HR Al Bazzar 1/131, Ad Daraquthni, hal. 47, Abu Nu’aim, Akhbar Al Ashbahan 2/309, sanad hadits ini Dha’if, lihat Silsilah Ad Dha’ifah, 10/414-415 no 4849) 

Kedua : Mani hukumnya Suci, inilah madzhabnya mayoritas para Ulama diantaranya Syafi’iyyah, Hanabilah, para Ulama ahli Hadits sebagaimana yang dinisbatkan oleh Imam An Nawawie kepada mereka, demikain juga dari kalangan para Sahabat seperti Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Aisyah, dan yang lainnya.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman alu Bassam rahimahullah berkata :
 

اختلف العلماء في نجاسة المني. فذهبت الحنفية، والمالكية إلى نجاسته. مستدلين بأحاديث غسله من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومنها هذا الحديث الذي معنا. وذهب الشافعي، وأحمد، وأهل الحديث، وابن حزم، وشيخ الإسلام " ابن تيمية " وغيرهم من المحققين، إلى طهارته، مستدلين بأدلة كثيرة منها ما يأتي:
 
1- صحة أحاديث فرك عائشة المنى من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان يابساً، بظفرها، فلو كان نجسا، لما كفى إلا الماء، كسائر النجاسات.
2- أن المني هو أصل الإنسان ومعدنه، فلا ينبغي أن يكون أصله نجساً خبيثاً، والله كرمه وطهره.
3- لم يأمر النبي صلى الله عليه وسلم بغسله والتحرز منه، كالبول.
4- أجابوا عن أحاديث غسله، بأن الغسل لا يدل على النجاسة، كما أن غسل المخاط ونحوه، لا يدل على نجاسته. والنظافة من النجاسات والمستقذرات، مطلوبة شرعا. فكيف لا يقر غسله صلى الله عليه وسلم.

Ulama berbeda pendapat tentang najisnya mani. Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat najis karena berdasarkan hadits hadits tentang dicucinya baju Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang terkena mani, antara lain pada hadits yang sedang kita bicarakan. Sedangkan Imam Syafi’i, Ahmad, Para Ahli hadits, Ibnu Hazm, Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah dan para Muhaqqiq lain berpendapat bahwa mani adalah suci berdasarkan pada banyak dalil, antara lain :

  1. Sahnya hadits hadits Aisyah yang mengerik mani dengan kukunya dari baju Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika kering. Andaikan mani itu najis maka tindakan tersebut belum cukup, kecuali dicuci dengan air seperti najis najis yang lain.
  2. Bahwa mani adalah asal muasal manusia, maka tidak mungkin asal muasal seseorang najis dan menjijikan, karena sesungguhnya Allah telah memuliakan dan mensucikannya.
  3. Nabi tidak memerintahkan untuk mencuci air mani dan berhati hati terhadapnya sebagaimana terhadap air kencing.
  4. Terhadap hadits hadits tentang mencuci air mani mereka menjawab mencuci tidak selalu berhubungan dengan najis. Sedangkan membersihkan najis dan kotoran diperintahkan secara syar’i, maka apa alasannya kita tidak meniru Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. (Taisir al A’lam Syarah ‘Umdah al Ahkam, Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, hal. 53, no hadits : 33). Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang kedua, maka barangsiapa yang sholat sementara pada bajunya ada air mani maka shalatnya sah.
  5. Boleh shalat pakai baju basah, walaupun terkena sesuatu yang kotor namun suci seperti debu, lumpur, dan yang semisal.
  6. Keutamaan Aisyah radhiyallahu anha dalam melayani Nabi shalallahu alaihi wasallam. Maka pelajaran yang bisa dipetik adalah anjuran bagi wanita untuk melayani suami dalam mencuci pakaiannya, membersihkan rumahnya, memasak makanannya, dan yang lainnya sesuai adat kebiasaan yang berlaku, yang hal itu bentuk kebaikan pelayanan, indahnya kesetiaan dan kesempurnaan dalam menunaikan keta’atan. 
Abu Ghozie As Sundawie 
--------------------

Maraji’

[1] Taisir Al A’lam, Abdullah bin ‘Abdurrahman Alu Bassam -rahimahullah-
[2] Tanbihul Al Afham, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -rahimahullah-
[3] Maurud Al Afham, Abdullah bin Shalih Al Fauzan -hafidzahullah-
[4] Zubdah Al Afham, Salim bin ‘Ied Al Hilaliy -hafidzahullah-
[5] Ieqaadz Al Afham, Sulaiman bin Muhammad al Luhaimid -hafidzahullah-

0 Response to "CARA MENGHILANGKAN MANI DARI PAKAIAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel