Hal Berikut Yang Tidak Membatalkan Puasa ( Bagian ketiga)


[3] Bercumbu dan mencium istri :

Boleh bagi suami istri untuk bercumbu dan berciuman saat berpuasa asalkan mampu menahan dari keluarnya air mani atau terjerumus kepada perbuatan yang haram yaitu jima’ disiang hari puasa Ramadhan. 

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri”  (HR Bukhari : 1927, Muslim : 1106)

Bercumbu dan mencium istri ini dibolehkan apabila dipastikan mampu menahan syahwatnya sehingga tidak terjerumus pada perkara yang dilarang yaitu jima’. Maka dimakruhkan bagi yang masih usia muda dengan syahwat yang bergejolak, adapun orang yang sudah tua dan berkurang syahwatnya di bolehkan secara mutlak. 

Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ، وَأَنَا صَائِمَةٌ»

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menciumku padahal beliau dan aku sedang berpuasa “ (HR Abu Dawud : 2384)

Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu anha 

 
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا الْجِمَاعَ

“Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh) (HR Abdurrazaaq : 8439)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwasanya ‘Umar bin Al Khaththab, beliau berkata, 


هَشَشْتُ يَوْما فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ». قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « فَفِيمَ »

“Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR Abu Dawud : 2382, Ahmad : 138, shahih lighairih, shahih fiqih sunnah 2/111)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash, ia berkata :

“Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?” 
Beliau menjawab, “Tidak”. Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata : “Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?”. Beliau menjawab : “Ya” sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  

إِنَّ الشَّيْخَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ

“Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya”.  (HR Ahmad 2/185, 22 / 6739)
Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafidzahullah  mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “ Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Lahi’ah dari yazid bin Abu Hubaib dari Qushair At-Tujaibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi’ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir no : 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah ‘an-‘anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih AL-Mutafaqih, hal.  192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain. (Shifatus Shiyami Nabi shalallahu alaihi wasallam hal. 54-55)

Syaikh Muhammad bin shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah  berkata : 

“Ciuman terbagi kepada menjadi tiga macam :

Pertama :
Ciuman yang tidak diiringi syahwat. Seperti ciuman seorang bapak kepada anak anaknya yang masih kecil. Maka hal ini boleh, tidak ada pengaruh dan hukumnya bagi orang yang berpuasa.

Kedua :
Ciuman yang dapat membangkitkan syahwat tetapi dirinya merasa aman dari keluarnya air mani, maka hal ini hukumnya didalam madzahab Hanbali di benci, akan tetapi yang benar adalah boleh.

Ketiga :
Ciuman yang dikhawatirkan keluarnya air mani maka jenis ciuman ini tidak boleh. Haram dilakukan jika dugaan kuatnya mengatakan bahwa kalau ciuman nanti akan keluar air mani. Seperti seorang pemuda yang kuat syahwatnya dan sangat cinta pada isterinya. (As Syarhul Mumti’, Syaikh Al Utsaimin 6/427. Lihat juga Majalisu Syahri Ramadhan, Ibnu ‘Utsaimin hal. 160)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullah berkata :


تَقْبِيْلُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَمُدَاعَبَتُهُ لَهَا وَمُبَاشَرَتُهُ لَهَا بِغَيْرِ جِمَاعٍ وَهُوَ صَائِمٌ كُلُّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَلَا حَرَجَ فِيْهِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ لَكِنْ إِنْ خَشِيَ الْوُقُوْعُ فِيْمَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ لِكَوْنِهِ سَرِيْعُ الشَّهْوَةِ كَرَهَ لَهُ ذَلِكَ

“Ciuman seorang suami yang sedang berpuasa kepada istrinya serta cumbuannya selain senggama maka semua itu boleh tidak ada masalah padanya, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam pun mencium istrinya, mencumbu istrinya padahal beliau sedang berpuasa, namun jika khawatir terjerumus kepada melanggar yang diharamkan karena sebab mudah terangsang syahwat maka hal itu di makruhkan” (Majmu’ Fatawa bin Baaz 15/315)

Diantara pendapat yang berbeda dengan yang disampaikan oleh sebagian para ulama adalah apa yang katakan oleh Imam Ibnu Hazm rahimahullah :

 
وَكَانَتْ عَائِشَةُ إذْ مَاتَ عَلَيْهِ السَّلَامُ  بِنْتَ ثَمَانِ عَشْرَةَ سَنَةً فَظَهَرَ بُطْلَانُ قَوْلِ مَنْ فَرَّقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الشَّيْخِ وَالشَّابِّ، وَبُطْلَانُ قَوْلِ مَنْ قَالَ: إنَّهَا مَكْرُوهَةٌ؛ وَصَحَّ أَنَّهَا حَسَنَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ، سُنَّةٌ مِنْ السُّنَنِ، وَقُرْبَةٌ مِنْ الْقُرْبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam wafat, Aisyah gadis berusia 18 tahun maka nampaklah bathilnya pendapat yang membedakan bolehnya mencium ketika puasa antara orang tua dan anak muda, dan batilnya perkataan bahwa perbuatan tersebut makruh, namun yang benar bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan baik yang dianjurkan sebagi bentuk sunah diantara sunnah sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam, bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala karena meneladani Nabi shalallahu alaihi wasallam” (Al Muhalla 6/208)

Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim hafidzahullah berkata :


فَالصَّحِيْحُ أَنَهُ لَا يُكْرَهُ أَنْ يُقَبِّلَ أَوْ يُبَاشِرَ فَإِنْ قَبَّلَ أَوْ بَاشَرَ فَأَمْذَى أَوْ أَمْذَتْ فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِمَا  فَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مِنْ نَفْسِهِ أَنَّهُ يَمْنِيْ بِذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لَهُ، فَإِنْ فَعَلَ وَأَمْنَى أَوْ أَمْنَتْ هِيَ فَقَدْ أَفْطَرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ الْمَنِيُّ مِنْهُمَا وَبَطَلَ صَوْمُهُ وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ

“Pendapat yang benar bahwasanya tidak di makruhkan mencium atau mencumbu (suami istri ketika sedang berpuasa). Jika mencium atau mencumbu lalu keluar madzi baik suami atau istri maka tidak mengapa atas keduanya. Jika ia tahu tentang dirinya bahwa ia akan keluar air mani maka tidak boleh. Kalau melakukannya (mencium atau mencumbu) lalu sampai keluar air mani baik laki laki atau perempuan maka batal puasa yang keluar air maninya tersebut dan wajib atasnya qadha” (Shahih fiqih Sunnah 2/111). 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.(Syarh Shahih Muslim, 7/215). Demikian semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut Taufiq. 

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie

0 Response to "Hal Berikut Yang Tidak Membatalkan Puasa ( Bagian ketiga) "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel